#MarriedLifeSeries: Kok Nggak Beli Mobil?

#MarriedLifeSeries: Kok Nggak Beli Mobil?

Sering dapat pertanyaan kayak begini nggak setelah menikah? Saya pernah beberapa kali tapi nggak sering. Yah, nggak sesering pertanyaan “Udah isi lagi belum?” sih. Tapi tiba-tiba aja pengen bikin postingan pas ingat ada yang pernah nanya begini.

Oh ya, buat yang belum tahu saya dan suami belum punya mobil. Kami biasanya kemana-mana menggunakan motor, boncengan, kekepan biar lebih mesra, hahaha #alasan. Kadang merasa aneh memang, kok nggak beli/punya mobil? Padahal mobil bisa dibilang sudah bukan barang mewah yang hanya bisa dibeli satu atau dua orang saja.

dari sekian banyak foto, foto naik motor berdua suami cuma ini lho
dari sekian banyak foto, foto naik motor berdua suami cuma ini lho

Buat di kota-kota besar seperti Jakarta, mobil memang bukan barang mewah lagi kalau menurut saya. Kecuali kalau mobilnya premium car atau supercar macam Lamborghini atau Rolls Royce. Itu sudah lain cerita lagi ya. Mobil di Jakarta sudah seperti gadget aja yang kadang bisa laris manis dibeli begitu keluar seri barunya. Apalagi kalau yang keluar macam LCGC.

Adik saya pas awal-awal dari kampung dulu pernah heran ada orang tinggal di kontrakan atau rumahnya kecil masuk gang tapi punya mobil. Padahal di kota besar macam Jakarta ini lumrah. Orang tinggal di kontrakan, rumahnya masuk gang, atau bahkan masih tinggal seatap sama mertua punya mobil itu hal yang biasa. Nggak heran kalau banyak jalanan permukiman yang kanan kirinya justru penuh sama mobil parkir.

Beda cerita kalau di kampung. Di tempat saya, orang yang punya mobil biasanya yang rumahnya besar. Paling tidak, punya pekarangan luas buat menaruh mobil. Selain itu, orang yang punya mobil biasanya yang jalan depan rumahnya bisa dilalui mobil. Sangat jarang orang yang rumahnya masuk gang atau di tengah sawah dengan jalan rumah hanya sebesar pematang sawah punya mobil.

Mobil Adalah Prestise?

Paling nggak itu yang terjadi kalau pulang kampung. Mobil adalah salah satu ukuran bukti kesuksesan. Kalau musim mudik khususnya Lebaran, biasanya ukuran kesuksesan buat masyarakat di sekitar rumah saya adalah pulang bawa mobil. “Si bapak itu pulang anaknya sukses kabeh, pulang bawa mobil semua, Mbak,” kata-kata itu sering saya dengar dari ibuk.

Suatu kali ibuk pernah pulang pengajian dan bilang “Tadi ibuk pengajian di rumah bu itu sekalian syukuran sambil pengumuman anaknya baru beli mobil”. Kadang saya suka ketawa geli sendiri trus nyeletuk sama ibuk “Nggak sekalian diumumin di speaker masjid kalau habis beli mobil, Buk?”. Lalu kami ketawa sama-sama.

Atau di lain waktu ibuk bilang “Mbak, anaknya si Pak itu katanya udah bisnis sendiri, bisnis online. Hebat ya, masih SMA katanya udah bisa buat beli mobil sendiri”. Saya paling sih iyain aja. Iya sukses, soalnya pas SMA saya baru bisa ngalay.

Kalimat-kalimat tadi menunjukan kalau punya mobil itu bisa jadi semacam prestise. Punya mobil itu semacam kebanggaan dan kehebatan. Punya mobil itu lambang kesuksesan. Paling tidak buat orang-orang di kampung macam ibuk saya. Tapi benar nggak sih ‘pulang bawa mobil’ itu berarti sudah sukses, sudah senang hidupnya? Belum tentu juga kan? Bisa saja itu mobil rental, diambil dengan effort bayar cicilan yang bikin sport jantung tiap habis gajian, atau malah si orang yang pulang bawa mobil memang kerjaannya supir dan bosnya berbaik hati untuk meminjamkan mobilnya buat mudik.

Baca Juga:   Tetap Bahagia dalam Pernikahan Walaupun Belum Memiliki Momongan

Kenapa Belum Tertarik Membeli Mobil?

Balik lagi ke soal mobil, alasan finansial sebenarnya bukan jadi masalah buat saya dan suami kalau mau membeli mobil. Tanpa bermaksud sombong tapi alhamdulillah Allah memang memberi rezeki lebih dari cukup buat saya dan suami. Tabungan kami saat ini bahkan lebih dari cukup kalau mau dibelikan mobil secara cash. Tapi kami kemana-mana lebih memilih menggunakan motor. Banyak alasan sih sebenarnya yang bikin kami belum tertarik untuk membeli mobil.

1. Tinggal di kawasan macet

Kami tinggal di kawasan yang dikenal dengan macetnya yaitu Ciledug. Kawasan ini memang terkenal macet dari pagi sampai malam. Mau dari arah tol, Cipulir, Joglo, Tangerang, atau Karang Tengah tetap saja ketemu macet kalau mau ke Ciledug. Apalagi sekarang sedang banyak proyek pembangunan di jalan-jalan ke arah Ciledug, salah satunya adalah pembangunan jalan layang Ciledug-Tendean yang nggak selesai-selesai. Nggak heran kalau ada yang menobatkan orang Ciledug sebagai salah satu orang tersabar.

meme-ciledug

Proyek-proyek ini memang bikin macetnya naujubilleeee. Mau lewat jalan tikus kampung atau perumahan juga macet. Belum lagi jalan yang menyempit dan rusak karena pembangunan ini. Alat transportasi paling mudah untuk keluar masuk Ciledug adalah motor. Apalagi buat saya yang orangnya suka emosi jiwa. Kalau kelamaan kena macet bisa mendidih kepala. Makanya, sejak tinggal di Ciledug juga saya sudah jarang naik taksi atau Grab. Saya lebih nyaman naik Gojek, Grabbike, atau malah naik kereta sekalian. Bebas macet bok!

2. Suami belum mahir mengendarai mobil

Suami saya memang belum mahir mengendarai mobil, kalau memang nggak mau disebut belum bisa ya. Pasalnya, skill mengendarai mobil suami saya memang payah banget. Dia baru beberapa kali belajar mobil, itu juga formalitas dan hasil saya paksa karena dia memang punya nazar belajar mobil kalau saya hamil (soalnya udah hamil dua kali belum juga dilaksanakan nazarnya).

(Baca juga: Inilah Suka Duka Ketika Kamu Memutuskan Memilih Pasangan Hidup Seorang Programmer)

Suami saya memang malas belajar nyetir. Di rumahnya saja, kalau dia mau masukin mobil ke garasi malah saya yang deg-degan. Pas mau digas suka mati. Ya gitu deh. Alhasil, kalau di kampung kami kemana-mana masih disetirin sama bapak mertua. Kata suami, nanti dia mau serius belajar nyetir mobil kalau sudah punya sendiri. Kita buktikan saja nanti.

3. Belum repot kemana-mana

Kami belum punya buntut alias belumpunya anak dan repot kalau mau bepergian kemana-mana jadilah naik motor oke-oke saja. Yah itung-itung sambil peluk-pelukan kalau boncengan berdua, hahaha. Kadang kalau bepergiannya agak jauh kami memilih naik kendaraan umum. Saat bepergian kami juga cuma bawa barang seperlunya. Beda kan kalau punya anak.

Sepupu atau teman saya yang sudah punya anak kalau mau bepergian bawaannya kayak mau pindahan rumah. Ya tas baju, stroller, tempat makan, tempat susu, sepeda anak, sampai box mainan semuanya dibawa. Padahal anaknya cuma satu dan bepergiannya beberapa hari. Apalagi kalau sudah dua atau tiga, wuaaahh tambah banyak lagi barang bawaannya. Buat saya dan suami kalau sudah repot, sudah punya anak, memang butuh mobil. Salah satunya ya karena alasan tadi. Alasan lain sih nggak bagus boncengan bertiga atau berempat sama anak di motor. Apalagi kalau si anak nggak pakai helm. Selain anak kepanasan, kehujanan, atau kena debu juga rawan kecelakaan. Kapasitas motor kan dibuat hanya untuk dua orang.

Baca Juga:   Bingung Kasih Kado ke Istri? 8 Benda Ini Bisa Jadi Inspirasi Kado untuk Istri

4. Ada aplikasi transportasi berbasis online

Kami wajib berterima kasih sama aplikasi transportasi berbasis online. Pasalnya, kalau cuma mau bepergian jauh naik mobil, kami bisa dengan mudah pesan Grab Car, Uber, atau Go Car. Jadi nggak repot rental mobil lagi. Selain itu, kalau ada orang tua, saudara, atau family jauh yang datang berkunjung dan minta dijemput biasanya juga dengan mudah naik transportasi berbasis online ini.

Saya juga pernah bilang sama suami kalau hamil lagi dan kontrol ke rumah sakit nggak mau dibonceng motor karena parno pernah keguguran dua kali. Kata suami, tinggal pakai aplikasi aja gampang. Benar juga ya. Nggak usah ndadak beli mobil dulu karena buat kontrol hamil.

(Baca juga: Trauma Healing Pascakeguguran Berulang)

5. Ada mobil di rumah mertua

Suka ada celetukan “Kan enak kalau punya mobil bisa pulang kampung bawa mobil sendiri, lebih nyaman”. Iya sih ada sisi nyamannya, tapi kalau pun kami punya mobil kemungkinannya sangat kecil untuk mudik menggunakan mobil pribadi. Kami masih memilih pulang dengan kereta api. Apalagi jarak antara stasiun dan rumah saya cuma selemparan beha aja. Beneran lho selemparan beha soalnya tembok belakang rumah saya aja udah Stasiun Kutoarjo. Jadi, sampai stasiun sama dengan sampai rumah.

Alasannya adalah dari sisi cost mungkin akan menguras biaya lebih banyak. Bayangkan saja harus bayar bensin, tol, biaya servis sebelum mudik (karena perjalanan jauh butuh kondisi mobil yang prima, kan?), belum lagi jajan-jajannya. Alasan lainnya adalah stamina. Capek kali bok kalau suami saya nyetir sendiri dari Jakarta sampai Kutoarjo.

“Kan enak kalau pulang bawa mobil bisa pelesiran di rumah pakai mobil.”

Kalau cuma mau pelesiran pakai mobil di rumah kan bisa pinjam mobil mertua saya. Tinggal cari deh saudara atau tetangga yang mau nyetirin dan dibayar. Kita juga nggak capek.

Kekurangan Nggak Punya Mobil

Semua hal pasti punya kelebihan dan kekurangan, termasuk ketika memutuskan belum mau membeli mobil. Apalagi hidup di Jakarta. Makanya saya beruntung banget ada aplikasi transportasi online yang memberikan rasa ‘seolah-olah punya mobil dan supir pribadi’. Namun, tetap saja terkadang ada rasa nggak nyaman ketika kita masih keukeuh dengan naik motor.

1. Kalau hujan kehujanan, kalau panas kepanasan

Buat biker ini mah pasti udah masalah klasik. Untuk menyiasatinya, kami selalu bawa 2 jas hujan kalau lagi pergi. Tapi biar pun udah pakai jas hujan tetap saja ada yang basah. Beberapa kali bahkan saya sempat kebasahan saat mau datang ke sebuah acara. Alhasil pas sampai tempat tujuan, penampilan udah lepek. Kalau hujannya besar sekali ya kami memilih meneduh dan nggak mau mengambil risiko tinggi. Sementara kalau panas, kami memilih pakai kaos kaki dan sepatu tertutup.

Baca Juga:   Berkompromi dengan Kebiasaan Buruk Pasangan, Bisa Nggak Sih?

2. Repot saat kondangan atau belanja banyak barang

Kondean, pakai kain, pakai gaun panjang, atau pakai hijab kreasi memang nggak disarankan buat naik atau bonceng motor. Ada dua kemungkinannya, penampilan rusak karena dipaksa pakai helm dan mengangkang atau ditangkap polisi dan rawan kecelakaan karena nggak pakai helm. Makanya, kalau kondangan saya dan suami lebih suka naik taksi atau transportasi online. Tapi kalau kondangannya maraton yang mana harus bawa wardrobe banyak buat ganti-ganti memang sedikit lebih repot.

Kerepotan juga datang lagi saat kami belanja. Apalagi kalau belanja bulanan kan banyak banget yang dibeli. Untuk menyiasatinya, kami membawa tas ransel dan barang belanjaannya dimasukan di dalam tas. Pernah juga kami belanja di IKEA dan itu repot banget karena kami bawa papan-papan rak buku di atas motor sambil membelah hujan kala itu.

3. Diskriminasi di tempat umum

Ada tempat-tempat umum di Jakarta seperti mall, hotel, atau gedung pertemuan yang tempat parkir motornya jauh banget dari area utama, bahkan ada yang nggak ada tempat parkir motornya. Kadang kami harus parkir di tempat yang paling ujung, gelap, dan berjalan jauh untuk menuju tujuan. Pas sampai tujuan kaki udah pegal dan keringat mengucur dimana-mana.

4. Lebih capek dan rawan kecelakaan

Berkendara dan membonceng motor menurut saya lebih capek daripada duduk di dalam mobil. Kalau pegal di mobil kan bisa senderan di jok, lha kalau di motor? Kehujanan dan kepanasan juga bikin rasa capek datang lebih cepat lho. Solusinya, kita bisa memasang box bagasi di belakang motor. Kan bisa buat sandaran tuh, tapi ini berlaku hanya buat yang membonceng.

Kendala lainnya adalah motor merupakan moda transportasi yang menyumbang angka kecelakaan terbesar. Makanya, dari tahun ke tahun pemerintah proaktif sekali untuk mencegah semakin banyaknya pemudik motor. Soalnya, data Korlantas Polri memang menunjukan angka kecelakaan motor paling menonjol di antara lainnya.

salah satu data Korlantas Polri tentang angka kecelakaan motor (Sumber: www.korlantaspolri.com)
salah satu data Korlantas Polri tentang angka kecelakaan motor (Sumber: http://korlantas-irsms.info/)

5. Repot di tempat yang tak terjangkau transportasi berbasis online

Kerepotan lain terjadi saat kami harus pergi ke tempat yang tidak terjangkau transportasi berbasis online. Hal ini biasanya karena perusahaan transportasi online-nya belum berekspansi sampai daerah itu, tempatnya susah sinyal, atau berkonflik dengan pengemudi transportasi konvensional. Contoh kecil adalah ketika di Stasiun Pasar Senen, kami harus janjian dan berjalan ke luar area stasiun dengan taksi online.

Saat bepergian ke tempat yang belum terjamah aplikasi transportasi online pun jadi agak repot. Contohnya saat saya dan suami mau ke Serang bersama teman-teman blogger. Kami pun akhirnya menyewa mobil demi kenyamanan pulang-pergi dari area yang dituju.

Dari semuanya lalu saya malu nggak kalau kemana-mana masih naik motor? Ya enggaklah. Malu tuh kalau beli mobilnya dari hasil korupsi. Apakah saya nggak pengen beli mobil? Ya pengen donk. Suami saya sudah berencana tahun depan untuk beli mobil kalau urusan program hamil udah selesai atau kalau kami sudah punya anak. Makanya doakan ya, doakan saya cepat hamil dan punya anak maksudnya, hihihi.

 

ratna dewi

49 Comments
Previous Post
Next Post
Ayomakan Fast, Feast, Festive 2023
Rekomendasi

Jelajahi Kuliner Bersama AyoMakan Fast, Feast, Festive 2023