Sudah ratusan purnama rasanya saya pengen banget menyaksikan kemeriahan Imlek tapi kok ya selalu nggak pas waktunya. Waktu masih kerja di TV, sebelum Imlek biasanya saya liputan serba-serbinya di Glodok, trus wawancara tokoh Tionghoa, wawancara pengamat budaya Tionghoa, ke museum yang menyimpan sejarah Tionghoa, atau wawancara suhu atau peramal shio. Nyaris pas hari H Imlek saya justru nggak menyaksikan seperti apa kemeriahannya karena selalu dikasih liputan non-Imlek.
Siapa yang habis nonton Dilan terus keluar bioskop senyum-senyum melulu dan bapernya sampai berhari-hari? Sini salaman dulu sama saya, hahaha. Saya termasuk salah satu di dalamnya. Bukan karena Dilan yang emang gombalannya bikin baper dan si dedek Iqbaal yang ganteng yang sukses memerankannya, tetapi juga karena setting ceritanya mengingatkan saya sama Bandung, kota yang saya akrabi waktu kuliah dulu.
Motor yang saya dan suami naiki berbelok ke sebuah tempat dengan lahan parkir yang cukup luas. Kami memilih tempat yang teduh di bawah besarnya pohon untuk menempatkan motor siang itu. Saya kemudian melihat sekilas jam di ponsel, baru sekitar jam 11.00 namun tempat ini sudah lumayan ramai. Beberapa mobil dan motor terparkir di halaman depan warung. Saya pun mengernyitkan dahi, ternyata tempat yang letaknya bukan di jalan perkotaan ini dikunjungi cukup banyak orang meski belum masuk jam makan siang.
Kereta yang saya naiki perlahan memperlambat lajunya ketika memasuki kawasan Stasiun Tugu, Yogyakarta. Saya melihat jam di ponsel, sudah hampir pukul 06.00. Jogja pagi ini cerah, matahari bersinar terang setelah beberapa hari yang lalu didatangi si ‘Cempaka’ yang memporak-porandakan banyak tempat.