Terbius Pesona Pantai Tanjung Aan dan Bukit Merese

Terbius Pesona Pantai Tanjung Aan dan Bukit Merese

Pagi itu pagi kedua saya berada di Kuta Lombok bersama Cenie. Aktivitas hari itu kami mulai dari pagi hari karena ada banyak destinasi yang akan kami kunjungi. Destinasi pertama yang akan saya kunjungi adalah Pantai Tanjung Aan sekaligus Bukit Merese yang letaknya nggak jauh dari tempat kami menginap.

Hari itu kami sengaja mengenyahkan rasa malas demi menjangkau banyak destinasi di Lombok. Alasannya adalah biar kami bisa mencapai semua destinasi sebelum Maghrib atau hari gelap. Banyak orang yang kami temui mewanti-wanti untuk tidak menuju ke tempat-tempat tertentu saat hari sudah gelap karena jalanan kurang penerangan, berkelok, atau bahkan rawan kejahatan. Maka kami yang hanya turis dan pendatang ini menurut saja apa perkataan warga lokal.

(Baca juga: Drama Tabrakan Mobil hingga Menginap di Airy Rooms Kuta Indah Hotel)

Sekitar pukul 09.00 WITA saya dan Cenie berangkat dari hotel menggunakan motor sewaan. Berbekal GPS di handphone Cenie (karena hape saya hilang sinyal selama di Lombok), motor kami arahkan ke Jalan Sengkol. Walaupun pagi menuju siang, jalanan di Jalan Sengkol tampak lengang. Hanya ada 1 atau 2 kendaraan yang lalu lalang ketika kami melewati jalan tersebut. Kanan kiri jalanan diapit oleh bebukitan yang minim permukiman. Pantas saja kalau jalan ini sangat sepi.

Karena asyik mengobrol, nyaris saya dan Cenie kebablasan. Untung belum jauh dan kami putar balik. Motor lalu masuk ke sebuah jalanan pedesaan yang juga sepi. Namun kami bisa melihat 1 atau 2 rumah penduduk beserta aktivitas yang mereka kerjakan. Sayangnya di sana minim petunjuk yang menandakan arah menuju Pantai Tanjung Aan. Kami hanya berbekal insting dan GPS hape untuk menuju ke Pantai Tanjung Aan. Beruntung, hanya sekitar 15 menit perjalanan dari hotel kami pun sampai juga di Pantai Tanjung Aan.

Pantai Tanjung Aan yang Indah, Namun…

Motor yang saya dan Cenie naiki masuk ke dalam area pintu masuk Pantai Tanjung Aan. Pintu masuk itu jangan dibayangkan sebuah gerbang dengan loket karcis layaknya tempat wisata yang lain, tapi hanyalah sebuah akses masuk di antara tembok tinggi yang mengarah ke Pantai Tanjung Aan. Kami mendekati seorang petugas yang ternyata adalah petugas parkir. Ia memberikan tiket parkir dengan nominal Rp 10.000 sebagai biaya parkir kami.

“Parkir saja di bawah pohon itu. Nanti kalau mau ke Bukit Merese tinggal ambil motornya lalu diparkir di sana sudah nggak bayar lagi,” ujar petugas itu sambil menunjuk ke sebuah pohon tempat dimana kami harus meletakkan motor.

Kami menuju ke pohon itu. Di sana sudah ada 1 motor yang terparkir sebelumnya. Ada seseorang di sana yang ketika kami datang menyambut kami sambil menawarkan harga jasa kapal untuk menuju ke tempat-tempat di sekitarnya. Yah semacam hoping island lah ke beberapa tempat seperti Batu Payung, Bukit Merese, dan beberapa tempat lainnya di sekitar Pantai Tanjung Aan dengan harga sekitar Rp 250.000. Tapi saya dan Cenie menolaknya dengan halus.

Saya berjalan memasuki gerbang bibir pantai. Di depan akses masuk terdapat ayunan yang bisa dipakai untuk berfoto. Saat itu pantai masih sepi, ada sepasang wisatawan asing lainnya yang berkunjung selain saya dan Cenie pagi itu. Ketika masuk dan melihat Pantai Tanjung Aan dengan mata kepala saya sendiri, saya takjub. Sangat takjub. Apa yang saya lihat di depan mata saya ini sungguh lukisan alam ciptaan Tuhan nan indah.

Baca Juga:   Warna-Warni Perjalanan ke Belitung (Part 1): Terjebak Banjir Menuju Belitung Timur

Pasir putih dan langit cerah kebiruan yang terpantul ke air laut menciptakan warna air laut yang biru pula. Sungguh dalam hati saya kegirangan. Belum pernah saya menemukan pantai yang sepi dengan pemandangan yang mengagumkan seperti ini. Pagi itu, air laut pun nampak tenang. Jadi saya bisa berjalan di bibir pantai dengan santai.

Sayangnya, di pinggir-pinggir pantai terdapat banyak seperti sampah rerumputan yang kayaknya terbawa ombak. Jadi saat dipotret, Pantai Tanjung Aan nggak bersih seutuhnya. Ditambah lagi, di pantai ini masih minim tempat sampah. Jadi onggokan sampah seperti botol minuman atau bekas cup mie instant terlihat di beberapa titik. Padahal kalau sampah-sampah ini nggak ada menakjubkan sekali pemandangannya. Apalagi pagi itu suasana pantai sepi dan syahdu. Saya dan Cenie pun berpisah sementara. Dia pergi berjalan mengeksplor sisi pantai hingga ke ujung sementara saya asyik mengambil foto dan video.

Namun sayang kesyahduan ini harus sedikit terganggu oleh mereka yang menawarkan barang dan jasa. Sekali lagi, penjual jasa perahu menawari saya dan Cenie dengan setengah memaksa sebelum kami berpisah. Tapi saya dan Cenie bisa menolaknya kembali. Namun bukan itu yang paling mengganggu saya. Yang paling mengganggu justru penjual kain tenun yang menawarkan barang dagangannya.

Bukan tanpa alasan saya bilang cukup mengganggu. Pasalnya, ibu penjual kain tenun itu mengikuti saya terus menerus kemana pun saya (dan juga Cenie ketika sudah ketemu sama Cenie) berada. Saya sudah menolak dengan halus tetap saja diikuti. Saya sampai bilang “Nanti dulu ya ibu, saya mau ambil foto dan video dulu” namun si pedagang tidak jua berhenti memelas pada saya.

Sebenarnya saya nggak masalah dengan penjual kain yang menjajakan dagangannya. Toh sah-sah saja. Namun ketika saat ngapain aja dan kemana saja di area pantai tetap diikuti, di situlah saya jadi nggak respek. Sambil memelas “Ayo beli kainnya, nggak usah anggap jualan. Anggap saja membantu”, si penjual terus memaksa saya untuk membeli. Hal itu terjadi berulang-ulang sampai saya lumayan kesal karena praktis saya nggak bisa konsen buat ambil video dan foto. Ditambah lagi suara si ibu masuk ke video saya.

Pagi itu acara menikmati Pantai Tanjung Aan pun jadi tak sepenuhnya tenang. Padahal saya sudah memohon berulang kali dan bilang “Ibu saya harus ambil gambar sama video dulu, kalau saya mau beli nanti pasti saya (beli) ke ibu” berulang-ulang. Namun kayaknya si ibu nggak mau ngerti. Akhirnya si ibu penjual pun saya cuekin, huft. Maaf ya ibu, bukannya saya nggak mau beli tapi saya malah jadi ilfeel dengan cara ibu menawarkan.

Selain hanya jalan-jalan atau menikmati suasana, ada banyak cara lain yang bisa dilakukan saat menikmati Pantai Tanjung Aan. Pengunjung bisa juga mendatangi ke beberapa spot lain di dekat Pantai Tanjung Aan dengan cara menaiki perahu. Selain itu, pengunjung bisa juga berenang atau snorkling di pantai ini. Saat saya di sana bahkan ada 1 wisatawan asing yang asyik snorkling di pantai yang pagi itu airnya sungguh tenang. Buat yang mau nyebur-nyebur ke laut, tersedia kamar bilas kok di pinggir pantai. Yah walaupun kamar bilasnya sederhana sekali.

Baca Juga:   Menikmati Cita Rasa Street Food Thailand di Thai Alley

Menjelang siang, beberapa orang wisatawan mulai berdatangan ke Pantai Tanjung Aan. Namun, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Suasana pantai yang sepi inilah yang bikin Pantai Tanjung Aan terasa seperti pantai pribadi.

Tak lama saya menikmati Pantai Tanjung Aan bersama Cenie. Kami pun harus segera berpindah tempat ke destinasi selanjutnya yaitu Bukit Merese sebelum siang dan matahari semakin panas. Saya dan Cenie pun mengambil motor tatkala banyak wisatawan lain yang berdatangan. Fiuuhh, saya sempat berlega hati pasalnya saya bisa menikmati Pantai Tanjung Aan saat masih sepi. Kami pun beranjak ke tempat selanjutnya dengan mengendarai motor.

Bukit Merese dan Lukisan Alam Penuh Keindahan

Destinasi kedua saya dan Cenie adalah Bukit Merese. Letaknya tak jauh dari Pantai Tanjung Aan. Untuk menuju ke bukit ini, perjalanan bisa ditempuh dengan berjalan kaki ataupun menggunakan kendaraan bermotor. Jarak Bukit Merese dengan Pantai Tanjung Aan mungkin hanya sekitar 300 meter. Bagi pemandangan alam di sekitarnya, Bukit Merese ini adalah bagaikan titik pandang dimana kita bisa melihat pantai-pantai dan spot indah lain dari kejauhan. Dari bukit inilah wisatawan bisa melihat garis pantai di sepanjang kawasan Mandalika walau terlihat sangat kecil.

(Baca juga: Menanti Senja di Pantai Kuta Lombok)

Sama halnya seperti Pantai Tanjung Aan, suasana di Bukit Merese pun masih sepi siang itu. Saya sebenarnya nggak tahu banyak tentang bukit ini sebelumnya sampai akhirnya browsing dan ternyata menemukan fakta bahwa bukit ini pernah dijadikan tempat syuting video klip Isyana Sarasvati yang judulnya Mimpi. Saya bahkan belum pernah lihat video klipnya. Tapi dari beberapa artikel yang saya baca sebelumnya, Bukit Merese ini memiliki pemandangan yang sangat indah.

panas dan gersang di atas bukit

Setelah saya sampai ke tempat parkir di kaki bukit, belum ada kesan apapun yang bisa saya tuai dari bukit ini. Panas dan gersang sudah saya rasakan sejak sebelum naik ke atas bukit. Untuk menikmati Bukit Merese secara keseluruhan dan melihat pemandangan di sekitarnya, saya harus treking dulu ke atas bukit. Bukit Merese ini sedikit berbatu namun masih ramah untuk didaki. Tapi naiknya nggak susah kok karena bukit ini lumayan landai dan ramah untuk para wisatawan yang jarang banget treking kayak saya.

Bukit Merese ini cukup luas areanya. Mungkin setara dengan 2 atau 3 kali lapangan sepakbola dengan kontur yang berbatu dan tidak rata. Saat itu, mungkin karena musim kemarau panjang pas saya berkunjung, Bukit Merese terlihat kering, gersang, dan panas. Padahal di artikel yang saya baca, bukit ini biasanya ditumbuhi rerumputan hijau dan biasa digunakan oleh warga sekitar untuk menggembalakan kerbaunya. Tapi jangankan kerbau yang saya lihat siang itu, satu-satunya pohon yang ada di atas bukit ini pun kering tak berdaun karena meranggas di musim kemarau.

Baca Juga:   #CeritaIbu: Pengalaman Pertama Berkereta Api bersama Bayi

Setelah naik beberapa ratus meter dari kaki bukit, saya terlebih dahulu menuju ke arah kiri. Di sana pemandangannya masyaallah sekali. Saya bisa melihat Pantai Tanjung Aan dari kejauhan. Pemandangan pasir putih dan laut biru terpampang di hadapan saya. Saking jernihnya air laut siang itu, saya bisa melihat terumbu karangnya dari atas bukit.

Pantai Tanjung Aan dari kejauhan
gugusan bukit dan terumbu karang yang bisa terlihat dari atas Bukit Merese

Selain Pantai Tanjung Aan, saya juga bisa melihat beberapa perbukitan dan karang-karang besar dari atas Bukit Merese. Gugusan perbukitan itu indah sekali. Karang-karang besar dan gugusan perbukitan kecil yang ada di sana seolah tertata cantik dan asyik untuk dinikmati. Tak lupa saya mengabadikan semua itu dalam bentuk foto dan video.

Selesai mengagumi di sisi kiri bukit, saya pun berjalan ke tengah. Pemandangan dari tengah bukit pun tak kalah menakjubkan. Selain saya bisa melihat hamparan perbukitan, saya pun bisa melihat pantai-pantai di sepanjang Mandalika dari kejauhan. Ada Pantai Kuta dan Pantai Seger yang terlihat sangat kecil namun tetap indah.

Satu hal yang jangan pernah dilewatkan kalau ke Bukit Merese adalah duduk di tepi tebingnya yang mengarah ke laut. Agak seram dan harus berhati-hati sih untuk duduk di sana namun kalau sudah duduk kita bisa menikmati indahnya laut dengan deburan ombaknya. Di bawah tebing pun masih terlihat hamparan pasir putih dengan laut birunya. Dan dari balik air laut yang jernih itu terlihat terumbu-terumbu karang.

Setelah puas menikmati deburan ombak dan sepoinya angin laut, saya pun kembali berjalan ke arah kanan bukit dimana terdapat sebuah pohon di sana. Pohon ini adalah satu-satunya pohon yang tumbuh menjulang tinggi di atas Bukit Merese. Mungkin kalau ada penamaan, pohon ini pantas dijuluki sebagai pohon jomblo, hihihi. Si pohon jomblo ini menurut saya iconic banget. Dengan lihat pohon ini maka saya bisa dengan cepat tahu bahwa itu adalah Bukit Merese. Seperti halnya ketika saya lihat video klipnya Isyana Sarasvati.

Secara keseluruhan Bukit Merese mampu membius saya untuk sejenak menikmati lukisan indah ciptaan Yang Maha Kuasa. Sayangnya, di bukit ini masih sedikit sekali saya temukan tempat sampah. Bahkan di beberapa sudut yang saya temukan justru tumpukan sampah yang sangat mengganggu keindahan. Pekerjaan rumah besar mungkin masih menunggu pengelola dan pelaku wisata di tempat ini supaya nantinya Bukit Merese yang indah bisa dinikmati seutuhnya tanpa harus terganggu sampah-sampah yang berserakan.

sayang banget masih banyak yang buang sampah di atas bukit
si ‘pohon jomblo’ yang sedang meranggas

Setelah puas menikmati Bukit Merese, saya dan Cenie pun memutuskan untuk turun. Semakin siang suasana di atas bukit pun semakin panas. Namun, pengunjung yang datang justru semakin banyak. Sayangnya, perut saya dan Cenie sudah memberontak untuk diisi jadi tak mungkin berlama-lama lagi menikmati indahnya alam dari atas bukit. Kami pun berjalan menuju parkiran motor untuk mengambil motor kemudian menuju ke sentral Kuta untuk mencari makan.

(Baca juga: Icip-Icip 4 Makanan Lombok yang Bikin Ketagihan)

Buat yang penasaran sama petualangan saya dan Cenie di Pantai Tanjung Aan dan Bukit Merese, bisa lihat video saya di Youtube berikut ini ya:

8 Comments
Previous Post
Next Post
Ayomakan Fast, Feast, Festive 2023
Rekomendasi

Jelajahi Kuliner Bersama AyoMakan Fast, Feast, Festive 2023