Mewujudkan Mimpi yang Tertunda ke Gili Trawangan

Mewujudkan Mimpi yang Tertunda ke Gili Trawangan

Lombok adalah salah satu pulau yang masuk dalam destinasi yang ingin saya kunjungi. Sudah lama saya ingin sekali melihat keindahan Pulau Lombok yang konon katanya memiliki banyak pantai berpasir putih nan indah. Bahkan, beberapa kali saya mengadu peruntungan dalam kuis atau perlombaan yang berhadiah ke Lombok tapi hasilnya selalu nihil.

Akhirnya Tuhan pun mengabulkan doa saya untuk bisa menginjakkan kaki ke Lombok. Semuanya berawal dari Airy App yang harganya menggiurkan. Sebenarnya saya ingin sekali liburan sama suami. Namun sayang jatah cutinya sudah terbatas dan dialokasikan untuk pulang kampung. Galau karena tak ada teman yang akan diajak traveling, tiba-tiba suami tercetus ide “Ajakin Cenie aja ke Lombok!”

Aha!!

Cenie adalah sahabat saya saat kerja dulu. Dia sekarang hobi jalan-jalan apalagi sejak memasuki masa galau, haha. Saya pun mengutarakan niat buat ke Lombok ngajakin Cenie. Gayung bersambut. Cenie juga sedang merencanakan jalan-jalan ke Lombok di Bulan September bertepatan dengan bulan ulang tahunnya. Saya dan Cenie pun sepakat ke Lombok bersama.

Walaupun sempat mengalami dilema menentukan tanggal keberangkatan, toh akhirnya kami jadi juga berangkat ke Lombok tanggal 3 September 2017 melalui Bali. Iya, saya sempat dilema karena rencana ke Lombok ini takutnya bertabrakan dengan jadwal program hamil saya yang mulai mengalami banyak kemajuan di akhir Agustus 2017 ini. Saya nggak mau mengulang dari awal dan menunggu lama lagi untuk cek lab tapi juga tak mau membatalkan acara jalan-jalan. Nah loh, bagaimana itu. Tapi takdir ternyata memang sudah mencatatkan bahwa saya akan menginjakkan kaki di Lombok. Dan akhirnya semua itu terjadi pada tanggal 3 September 2017.

(Baca juga: Cerita Program Hamil Ketiga: Menghadapi Berbagai Tes Laboratorium)

Perjalanan ke Lombok ini saya tempuh melalui Bali. Alasannya adalah selain penerbangan ke Bali lebih banyak jadwalnya, akomodasi untuk menyeberang ke Gili Trawangan -destinasi pertama saya- lebih mudah via Bali. Saya pun berbagi tugas dengan Cenie. Saya bagian pesan tiket pesawat pulang pergi dan pesan hotel di Lombok sementara Cenie kebagian mengurusi tiket fastboat dari Bali ke Gili Trawangan dan hotel di Gili Trawangan.

Semua hal yang menjadi kewajiban saya, saya serahkan pada Airy. Untungnya, sekarang aplikasi Airy sudah bisa memesan tiket pesawat. Jadi tiket pesawat dan penginapan di Kuta Lombok semuanya saya pesan melalui Airy. Untuk tiket pesawat, caranya pun sangat mudah. Saya tinggal memasukkan tanggal keberangkatan dan berapa tiket yang ingin dibeli lalu muncullah berbagai tawaran tiket pesawat dari beberapa maskapai, harga, serta waktu keberangkatan. Untuk memudahkan kita memilihnya, Airy memiliki fitur untuk menyortir tiket berdasarkan waktu keberangkatan serta harga.

Enaknya bertransaksi di Airy adalah selain gampang, customer service yang in-charge juga sangat responsif. Beberapa kali saya bertanya soal cara pembayaran, kemungkinan tukar jadwal, dan beberapa hal lain yang mungkin terasa remeh-temeh. Akan tetapi, CS by chat sangat responsif untuk menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan.

Baca Juga:   Bali dan Banyak Hal Seru yang Belum Terlunasi

Menuju Gili Trawangan Via Bali

Karena mengejar jemputan untuk fastboat ke Gili Trawangan (yang berangkat pukul 13.00), saya pun mengambil penerbangan pagi pukul 07.30. Alhamdulillah hari itu cuaca cerah dan pesawat yang kami naiki tepat waktu. Saya dan Cenie tiba di Bandara Ngurah Rai sekitar pukul 10.20. Tepat beberapa menit setelah landing, driver mobil jemputan fastboat yang akan membawa kami ke Gili Trawangan sudah sampai. Tak perlu berlama-lama, kami pun menuju tempat janjian yang berada di luar Bandara Ngurah Rai.

pemandangan dari atas udara saat langit cerah

Kami dijemput dengan mobil travel untuk menuju ke Pelabuhan Padang Bai, Karangasem. Untungnya hari itu tamu jemputan hanya kami berdua jadi saya dan Cenie bebas untuk ngobrol-ngobrol cekakakan di dalam mobil. Beruntungnya lagi, mas driver yang menjemput kami ternyata orang Semarang. Klop sudahlah kami ngomong Bahasa Jawa sepanjang perjalanan. Padahal awalnya saya mengira kalau drivernya adalah orang Bali dan sudah memanggil Bli.

Perjalanan menuju Karangasem diperkirakan menghabiskan waktu sekitar 2 jam perjalanan, itu pun kalau tidak terhadang oleh upacara keagamaan. Kata mas driver, sedang ada upacara selamatan Tumpek Landep di Bali yaitu upacara dan selamatan terhadap semua barang yang mengandung besi. Nggak heran, di sepanjang jalan banyak mobil yang diberi bunga dan sesaji di bagian depannya. Mas driver hanya khawatir terjadi macet di daerah Karangasem karena biasanya di situlah banyak upacara Tumpek Landep berlangsung hingga mengalihkan beberapa jalur jalan.

Untungnya, hari itu perjalanan lancar jaya. Kami hanya terjebak macet di lampu merah dekat Pelabuhan Padang Bai. Sebelum sampai pelabuhan, mas driver yang membawa kami pun menurunkan sejenak ke agen tiket fastboat dan meminta kami membeli tiket disitu. Fastboat yang kami naiki adalah Marina Srikandi. Harga tiketnya adalah Rp 375.000. Fastboat ini adalah fastboat dengan harga tiket termurah yang telah kami telepon sebelumnya.

Setelah memeroleh tiket, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Padang Bai. Bayangan saya tentang Pelabuhan Padang Bai adalah pelabuhan besar dengan banyak kapal bersandar. Ternyata perkiraan saya salah. Pelabuhan Padang Bai ternyata pelabuhan kecil namun sangat ramai penumpang kapal. Mungkin sekitar 80 persennya adalah wisatawan mancanegara yang juga akan menyeberang ke Gili Trawangan menggunakan fastboat. Di bagian luar dan dalam pelabuhan dipenuhi oleh pedagang yang menjajakan makanan, minuman, hingga oleh-oleh. Selain itu, ada banyak agen tiket fastboat untuk menuju ke Gili Trawangan.

Karena sangat kecil, ruang tunggu dan tempat duduknya pun terbatas. Begitu juga dengan tempat bersandar kapal. Tempat bersandar fastboat dan kapal feri berbeda. Tempat sandar kapal feri berada di sebelah kanan pintu masuk pelabuhan dan harus berjalan terlebih dahulu beberapa ratus meter. Saya dan Cenie sempat bingung dan plenga-plengo karena tidak ada petugas fastboat dan minim informasi di Padang Bai. Apalagi semakin siang mengarah ke jam 13.00, calon penumpang semakin banyak dan riuh sementara itu pengumuman keberangkatan hanya terdengar sayup-sayup dari speaker pelabuhan yang mengarah ke arah laut.

Baca Juga:   Pulang Kampung (Lagi) saat Pandemi

Kami sempat bingung karena belum ada juga petugas dari fastboat Marina Srikandi yang berseliweran. Sementara petugas fastboat yang lain sudah banyak yang menanyakan tiket dan waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 lebih. Takutnya sih kami ketinggalan boat, kan nggak lucu yes. Saking bingung dan kebelet pipis juga, saya dan Cenie gantian ke toilet yang adanya di luar pelabuhan dengan tangan tak pernah lepas dari hape.

Nggak berapa lama, petugas dari fastboat pun muncul. Lega deh kami. Petugas mengatakan kalau kapal belum ada dan menunjukkan sama saya kalau kapalnya masih di tengah laut menuju tempat bersandar. Jadi, jadwal keberangkatan hari itu telat. Ealah, saya baru tahu kalau keberangkatan kapal bisa telat juga toh. Petugas bilang kalau hari itu air laut surut jadi dermaga hanya bisa untuk bersandar 2 fastboat secara bergantian. Padahal jumlah boat yang berangkat pada pukul 13.00 lumayan banyak atau mungkin saja hampir semua kapal memiliki jadwal berangkat pukul 13.oo.

Sekitar pukul 13.30, fastboat yang kami naiki datang dan bersandar. Hanya perlu waktu beberapa menit untuk bersiap, menaikkan penumpang, kemudian berangkat kembali. Fastboat yang tadi saya lihat kecil sekali di tengah laut ternyata besar juga dalamnya. Mampu menampung sekitar 150 penumpang. Sayangnya, saya nggak sempat motret bagian dalam fastboat karena udah terlanjur capek. Saya pun memilih duduk di dekat jendela sementara Cenie di sebelah saya.

Setelah kapal mulai berjalan, hampir semua penumpang -yang didominasi turis mancanegara- naik ke atas kapal untuk menikmati perjalanan dan melihat laut lepas. Saya sih nrimo di dalam kapal aja karena cuaca panas banget. Sambil menikmati perjalanan, saya juga sambil merekam buat vlog. Sementara Cenie sudah bablas ke alam mimpi. Di sebelah Cenie ada ibu-ibu penduduk lokal yang juga menyeberang dengan tujuan Gili Trawangan. Sayangnya, belum separuh perjalanan salah satu rombongan ibu-ibu sebelah Cenie mabuk laut dan muntah-muntah. Saya pun jadi eneg dan akhirnya memutuskan tidur saja daripada ‘ketularan’ mabuk laut. Setelah menempuh waktu hampir 2 jam, kapal kami pun sampai juga di dermaga Gili Trawangan.

Gili Trawangan, Sebuah Destinasi Impian

Begitu sampai di Gili Trawangan, kami disambut banyak cidomo yang mangkal di pinggir-pinggir jalan dekat pelabuhan kapal. Bau kotoran kuda dan laut menjadi satu. Sebelum sampai di Gili Trawangan, saya sempat parno duluan takut minim fasilitas di sana seperti halnya saat ke Belitung. Makanya saya bawa uang cash dan membeli nomer baru dengan provider yang lebih ramah pedalaman. Namun ternyata semua itu hanya ketakutan saya semata.

Baca Juga:   Ow My Plate dan Kenikmatan yang Tertinggal di Lidah

(Baca juga: Warna-Warni Perjalanan ke Belitung (Part 1): Terjebak Banjir Menuju Belitung Timur)

Gili Trawangan adalah sebuah pulau tempat wisata yang bisa dibilang sudah memiliki fasilitas cukup lengkap. Di pinggir-pinggir jalan searah penginapan saya melihat ada ATM, penyewaan sepeda, restoran, bar, warung-warung kecil, hingga minimarket. Jalan utama di Gili Trawangan pun dipenuhi wisatawan yang lalu lalang entah itu naik sepeda atau sekadar berjalan kaki. Nggak cuma itu, provider yang biasa saya pakai sehari-hari dan mati suri kalau dibawa ke luar Jakarta pun tetap ada di Gili Trawangan. Rasanya semua di luar perkiraan saya.

kamar kami di Gili Life

Penginapan saya dan Cenie tak begitu jauh dari pelabuhan. Kami cukup berjalan sekitar 500 meter untuk sampai ke penginapan yang letaknya tak jauh di belakang Masjid Jamie Gili Trawangan. Oh ya, satu lagi yang saya suka dari Gili Trawangan selain nggak ada polusi dan kendaraan bermotor di sana adalah ada masjid di beberapa tempat, entah kenapa suasananya damai. Tiap jadwal salat pun, adzan berkumandang dengan kencang.

Cenie memilihkan penginapan Gili Life untuk kami. Penginapannya sederhana namun nyaman karena sudah dilengkapi AC, wifi, dan juga sarapan pagi. Bisa dibilang penginapan ini adalah standar penginapan di Gili Trawangan, tidak terlalu mewah tapi juga nggak terlalu butut. Cenie memilihkan kamar dengan 2 bed untuk kami biar bisa tidur dengan nyaman karena habit tidur kami berdua yang memang berbeda. Sementara itu, kanan kiri dan depan kamar kami semuanya adalah tamu mancanegara yang juga sedang liburan di Bali.

menu breakfast di Gili Life
Gili Life tampak depan

Selain penginapan, di Gili Life juga menyediakan penyewaan sepeda, laundry, dan juga paket snorkling. Saya dan Cenie pun sempat menyewa sepeda unytuk 2 hari di Gili Life. Sementara itu, saat sarapan biasanya petugas penginapan akan mengantarkannya ke kamar setelah kami memesannya di meja depan. Sarapan di Gili Life terdiri dari 3 macam yaitu scramble egg, omelette, dan pancake banana dengan minuman kopi dan teh serta buah segar.

Sore itu kami istirahat sebentar setelah perjalanan panjang. Masih ada 3 hari di Gili Trawangan (kami extend 1 hari dari rencana sebelumnya). Ada banyak kegiatan seru yang saya lakukan di Gili. Mau tahu apa aja? Tunggu di postingan-postingan selanjutnya ya.

Buat yang masih penasaran, ini nih vlog saya selama perjalanan menuju Gili Trawangan bersama Cenie.

9 Comments
Previous Post
Next Post
Ayomakan Fast, Feast, Festive 2023
Rekomendasi

Jelajahi Kuliner Bersama AyoMakan Fast, Feast, Festive 2023